- Beranda
- Infotorial
- Limbah Sagu Bawa Berkah Bagi Warga Tanjung Peranap
Limbah Sagu Bawa Berkah Bagi Warga Tanjung Peranap
- Jumat, 26 April 2019 - 15:39 WIB
- Reporter : Syamsidir
KABUPATEN Kepulauan Meranti, Provinsi Riau merupakan salah satu kawasan pengembangan ketahanan pangan nasional, karena menjadi daerah penghasil sagu terbesar di Indonesia. Memiliki area tanaman sagu seluas 44,657 Ha lebih --perkebunan sagu di Meranti juga menjadi sumber penghasilan utama-- hampir 20 persen masyarakatnya.
Maka tak heran, jika perkembangan industri sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti selama beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Hampir sebagian lahan di empat pulau besar, yaitu Pulau Tebingtinggi, Rangsang, Merbau dan Pulau Padang terdapat perkebunan sagu. Pohon rumbia tersebut selalu menghiasi pemandangan kita selama berada di Kepulauan Meranti.
Berdasarkan data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop dan UKM) Kepulauan Meranti, setidaknya ada 67 unit pabrik pengolahan sagu yang aktif beroperasi, baik skala besar, kecil dan menengah. Keberadaannya tersebar di tujuh kecamatan. Paling banyak terdapat di Kecamatan Tebingtinggi Barat dengan 32 unit industri sagu, Tebingtinggi Timur terdapat 17 unit, Tebingtinggi 3 unit, Merbau 5 unit, Tasik Putripuyu 4 Unit, Rangsang 2 Unit, dan Kecamatan Rangsang Pesisir terdapat 4 unit pabrik. Sementara di dua kecamatan lagi, yakni Kecamatan Rangsang Barat dan Pulau Merbau belum tercatat adanya pabrik pengolahan sagu.
Umumnya, pabrik sagu ini berada di kawasan bibir sungai atau anak sungai. Posisi ini sengaja dipilih untuk memudahkan para pekerja saat memasukkan bahan baku yang masih dalam bentuk tual (potongan batang sagu). Setelah uyungnya (kulit batang) dikupas, barulah dilakukan proses pemarutan dan pengolahan hingga menjadi tepung sagu basah. Sementara ampas empulur sagu yang telah diambil patinya (masyarakat setempat menyebutnya repu) dibuang begitu saja tanpa dimanfaatkan.
Pada proses inilah masalahnya muncul. Sejak bertahun-tahun silam limbah sagu terus dibuang ke sungai hingga menumpuk. Tidak hanya limbah padat berupa repu dan uyung, tetapi juga limbah cair yang bersifat asam dan berbau busuk. Tindakan tidak terpuji itu tentunya berdampak pada perubahan parameter di perairan sekitar kawasan pembuangan limbah. Kondisi air sungai yang semula jernih seketika berubah warna kebiru-biruan dan berbau cukup menyengat. Makanya tak heran jika di sekitar lokasi pembuangan limbah sangat sulit ditemukan ikan-ikan plagis seperti udang dan lainnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (BLH) Kepulauan Meranti Hendra Putra yang diajak berbincang-bincang mengenai hal itu juga tidak membantahnya. Dia mengaku bahwa persoalan limbah sagu telah terjadi sejak bertahun-tahun silam, bahkan sebelum Meranti terbentuk menjadi sebuah kabupaten. Lalu, apa terobosan yang dibuat sehingga limbah yang membahayakan itu tidak lagi menjadi momok bagi masyarakat? Sebaliknya, dapat menjadi nilai tambah dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.
Pemikiran itulah yang kini diwujudkan oleh Pemerintah Desa Tanjung Peranap, Kecamatan Tebingtinggi Barat, Kepulauan Meranti, Riau dalam mewujudkan pembangunan ekonomi masyarakatnya. Selama ini, puluhan ton repu sagu yang dihasilkan pabrik-pabrik, terbuang percuma. Hasil ekstraksi limbah dibuang begitu saja oleh pengusaha, karena tidak mampu diolah. Kini, limbah sagu berupa ampas yang disebut repu ini justru menjadi ladang rezeki bagi warga sekitar.
"Repu yang awalnya tidak berguna dan merusak lingkungan, ternyata nilai jualnya tinggi," ungkap Kepala Desa Tanjung Peranap, Aswandi, Selasa (19/3/2019) lalu.
Menurut dia, di Desa Tanjung Peranap terdapat 11 kilang sagu aktif yang menghasilkan sekitar 200-300 ton sagu basah per hari. Dan, dari 1 ton sagu pula menghasilkan limbah repu sekitar 500 kilo.
"Awalnya, repu ini terbuang begitu saja. Setelah adanya penelitian yang dilakukan mahasiswa IPB, ternyata bisa diolah menjadi pakan ternak. Berhasil, dan sapi-sapi yang memakannya gemuk-gemuk," imbuhnya.
Hasil penelitian itu disambut baik oleh Pemerintah Desa Tanjung Peranap. Kemudian melakukan musyawarah dengan pemilik kilang sagu dan warga, agar limbah sagu tersebut bisa diambil percuma dan dimanfaatkan oleh warga.
"Pihak kilang sagu juga senang, karena selain menghindari pencemaran lingkungan, limbah sagu juga bisa mengangkat ekonomi warga," beber dia.
Saat ini, kelompok usaha masyarakat di Desa Tanjung Peranap setidaknya sudah menarik sekitar 50 orang pekerja yang terdiri dari ibu rumah tangga, serta beberapa pekerja bantu laki-laki. Kelompok ini juga menerapkan sistem ekonomi syariah. Semua keputusan diambil berdasarkan rapat bersama.
Seorang pekerja kilang sagu sedang menggiling batang sagu.
Usaha Pemerintah Desa bersama warga ternyata ridak sia-aia. Berkat koordinasi yang apik, bahkan saat ini sudah ada perusahaan yang mau menampung limbah sagu Desa Tanjung Peranap untuk diolah menjadi pakan ternak. Limbah yang diolah berupa repu kering tersebut setidaknya akan dibandrol dengan harga Rp.250 per kilogram.
"Insya Allah, untuk tahap uji coba kalau tidak ada halangan bulan ini kita akan mengirim 300 ton repu kering ke Jakarta," ucapnya.
Pengolahan limbah sagu menjadi bernilai ekonomis juga tidaklah begitu sulit. Hanya dijemur, kemudian setelah kering dimasukan ke dalam karung, lalu siap untuk dijual.
Aswandi juga berharap dukungan penuh dari Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti. Baik dalam bentuk modal maupun peralatan. Misalnya keperluan alat berat untuk membuat bak limbah agar limbah yang keluar dari bangsal sagu ditampung di tempat khusus dan tidak lagi mengalir sembarangan.
"Jika memang berhasil dengan uji coba ini, kedepan usaha ini akan kita naungi dalam sebuah koperasi. Apalagi saat ini kita sudah ada koperasi Agro Pranap Bertuah, tinggal mengaktifkannya lagi," pungkasnya.
Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM (DisperindagkopUKM) Kabupaten Kepulauan Meranti, Drs Azza Fahroni menyarankan agar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa berkoperasi. Karena koperasi menaungi kelompok, sehingga bisa dibantu fasilitas oleh pemerintah.
"Yang bisa dibantu hanya yang masuk dalam kelompok, yaitu koperasi, karena ada aturan yang mengatur masalah hibah," ungkap Azza.
Dijelaskannya, bahwa koperasi itu milik anggota, bukan pengurus, karena koperasi dibangun atas kepentingan bersama. "Koperasi adalah wadah untuk menggerakkan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Dia juga memberikan apresiasi langkah nyata yang dilakukan Pemdes Tanjung Peranap bersama warganya dalam mengolah limbah sagu menjadi pakan ternak. Selain dapat mengurangi volume limbah, kegiatan tersebut sangat efektif dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.(ADV)