Sidang Prapid Pimpinan Scoo Beauty, Ahli: Pelanggaran Perjanjian, Bukan Ranah Pidana

  • Jumat, 01 Agustus 2025 - 20:13 WIB

KLIKMX.COM, PEKANBARU – Sidang praperadilan terkait penetapan tersangka terhadap dua pimpinan perusahaan Scoo Beauty, yakni Gerhilda Elen dan Saluja Vijay Kumar, kembali digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Jumat (1/8/2025).

Diketahui, Gerhilda Elen dan Saluja Vijay Kumar ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Riau. Adapun kasusnya, dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan terkait investasi senilai Rp8 miliar. 

HONDA 2025

Keduanya disangkakan melanggar Pasal 378 dan 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Melalui permohonan praperadilan, kuasa hukum kedua tersangka menggugat keabsahan proses penetapan status tersangka tersebut. Sidang digelar guna menguji apakah proses hukum yang dilakukan oleh penyidik telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam sidang kali ini, menghadirkan Dr Suhendar SH MH, dosen hukum pidana dari Universitas Pamulang, sebagai saksi ahli. Saksi menyoroti keabsahan dalam penetapan seseorang sebagai tersangka.

Dalam keterangannya di hadapan hakim tunggal Arsul Hidayat SH MH, ia menegaskan bahwa proses penetapan tersangka dalam perkara pidana harus dilakukan secara cermat dan berdasarkan alat bukti yang sah, sesuai ketentuan hukum acara pidana.


Suhendar menjelaskan, dalam hukum pidana Indonesia, penetapan tersangka harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

"Alat bukti tersebut meliputi yakni  Keterangan saksi, keterangan ahli, surat,  petunjuk dan keterangan terdakwa. Ada dua alat bukti yang relevan," ujarnya ketika ditanya kuasa hukum pemohon, Andi Lala SH MH.

Menurut Suhendar, penting bagi penyidik untuk dapat membedakan antara sengketa perdata dan delik pidana, terutama dalam kasus yang berawal dari hubungan bisnis atau perjanjian investasi. Bila suatu perkara hanya berkaitan dengan wanprestasi atau ingkar janji, maka seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum perdata, bukan pidana.

"Delik pidana harus memenuhi unsur perbuatan melawan hukum secara pidana, seperti penipuan atau penggelapan. Jika hanya berupa pelanggaran perjanjian, maka bukan ranah pidana," jelasnya.

Usai sidang, Suhendra yang diwawancarai juga menekan, dalam perbuatan pidana jika unsur-unsurnya tidak dapat dibuktikan, maka proses hukum itu sendiri yang akan dirugikan.

Ia menambahkan, penetapan tersangka yang dilakukan secara prematur atau tanpa bukti yang memadai dapat merugikan banyak pihak, termasuk negara yang telah mengeluarkan biaya dalam proses penyidikan.

Suhendar juga mengingatkan bahwa penetapan tersangka yang tidak sah dapat berakibat pada gugatan ganti rugi dari pihak yang dirugikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Selain itu, kesalahan dalam proses hukum dapat menimbulkan penurunan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

"Yang paling berbahaya adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Jika prosedur dilanggar, maka masyarakat bisa menilai bahwa hukum tidak dijalankan secara adil dan profesional," imbuhnya.

Meski memberikan analisis hukum secara akademik, Suhendar mengatakan bahwa keputusan akhir mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka tetap berada di tangan hakim. Ia menekankan pentingnya semua pihak menghormati putusan pengadilan.

 "Apapun putusan praperadilan nantinya, itu harus dihormati sebagai bagian dari proses hukum yang berkeadilan," pungkasnya.***



Baca Juga