IN MEMORIAM BJ HABIBIE: Tak Ada Fisika, Rudy Pilih Ilmu Pesawat

  • Kamis, 12 September 2019 - 09:20 WIB


KORANMX.COM -- Jenius di bidang aeronautica atau kedirgantaraan itu telah berpulang, Rabu (11/9/2019) pukul 18.05 7WIB. Tokoh yang memiliki gelar lengkap Prof Dr Ing H BJ Habibie FREng wafat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).

Habibie dianggap pahlawan dalam banyak hal: ilmu pengetahuan, politik, demokrasi, dan terlebih dunia pers sangat berhutang budi pada almarhum.


Karya dan jasanya bagi pers adalah Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dan 17 tahun sejak  UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers diberlakukan, media di Indonesia sudah bisa menikmati atmosfer kebebasan pers.


Habibie dengan latar belakang kehidupan Eropa, telah menularkan sikap-sikap sportifitas, kebebasan, dan ilmu pengetahuan bagi  rakyat Indonesia. Ia merupakan satu dari sederetan cendekiawan kebanggaan Indonesia, dan menjadi role model anak-anak Indonesia sejak dekade 80an sampai sekarang.

Sejak kecil ia sudah tergolong kutubuku. Saking sukanya membaca, Sri Sulaksmi, kakak pertama Habibie, mesti memaksanya untuk mau bermain dengan anak-anak sebayanya.

Habibie sebetulnya seorang anak yang introvert. Mungkin karena situasi keluarganya saat masih kecil membuatnya tertutup dan menyimpan perasaannya sendiri.


Ia masih muda mentah, baru 14 tahun ketika ditinggal wafat ayahnya.

“BJ Habibie mendengar sendiri di malam ketika ayahnya meninggal, ibunya berteriak-teriak dan bersumpah di depan jasad suaminya, bahwa cita-cita suaminya terhadap pendidikan anak-anaknya akan diteruskannya,” sebut A Makmur Makka dalam True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan.

Oleh ibunya ia lalu dikirim belajar ke Bandung, masuk SMAK Dago, di mana ia menggemari pelajaran-pelajaran eksakta, utamanya Fisika.

Selama belajar itu pula ia memiliki ketertarikan pada ilmu penerbangan, meski ia tetap cenderung berminat di ilmu fisika.

Setelah melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1954. Namun pendidikannya di ITB hanya sampai enam bulan lantaran Habibie kepincut kuliah di luar negeri sebagaimana kawannya, Kenkie Laheru. Dari kawannya itu dia mengajukan visa pelajar ke Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan di Jakarta.

“Habibie berangkat ke Jakarta dan menemui petugas yang berwenang. Dia ditanya mau pilih jurusan apa? Habibie memilih Ilmu Fisika. Dijawab oleh petugas, bahwa tidak ada jurusan Fisika, hanya ada jurusan lain, termasuk Ilmu Aeronautika,” sebut Makmur Makka.

Program studi Aeronautika atau yang kerap disebut Teknik Penerbangan memberikan pengetahuan terkait kedirgantaraan mencakup perancangan, pembuatan dan pengoperasian pesawat dan wahana antariksa lainnya. Intinya program studi ini mempelajari ilmu keteknikan pesawat. Aeronautika berkaitan dengan segala aspek penerbangan di dalam atmosfer Bumi seperti pesawat komersil, helikopter, pesawat militer.

Akhirnya Habibie memilih jurusan terakhir itu. Alasan Habibie, meski tak ada fisika, setidaknya  di Ilmu Aeronautika paling banyak bersinggungan dengan Fisika. Habibie pun masuk ke Technische Hochschule Aachen (kini RWTH Aachen University). Di sana, Rudy, demikian sapaan akrabnya mendulang banyak prestasi, baik di bidang akademik maupun di lapangan pekerjaan.

Selain itu, sebenarnya Habibie memilih jurusan itu juga dengan dasar pertimbangan pesan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh. Yamin. ‘Kamu inilah harapan bangsa,’ ucap Yamin sambil mengelus-elus kepalanya,”  ungkap Makmur.

Ia berangkat dengan jalur membeli devisa pemerintah. Semua biayanya dikucurkan dari peninggalan mendiang ayahnya lewat perkenan sang ibu.

Alasan lain Habibie menggeluti ilmu tentang pesawat terbang, seperti ditulis majalah sejarah populer Historia, lantaran ia juga ingin mendalami teknologi pesawat Jerman yang dikaguminya. Sejak belia, Habibie terkagum-kagum pada pesawat tempur Jerman era Perang Dunia II, Messerschmitt 109, bikinan teknokrat Willy Messerschmitt. Kebetulan, kampus yang dipilih Habibie merupakan tempat Messerschmitt kuliah.

Berturut-turut pada 1960 dan 1962, Habibie senantiasa cemerlang melahap ilmu-ilmu yang digalinya dan berbuah gelar Diplom-Ingenieur hingga Ingenieur. Ia satu-satunya mahasiswa Indonesia yang kuliah dengan ongkos sendiri, bukan beasiswa negara sebagaimana sejumlah kompatriotnya kala itu.

Sembari menyelesaikan studi doktoralnya, ia menyibukkan diri jadi tangan kanan Hans Ebner, teknokrat di Lehrstuhl und Institut für Leichtbau, dan bekerja paruh waktu dengan menjadi penasihat di manufaktur keretaapi Waggonfabrik Talbot. GelarDoktoringenieur akhirnya diperoleh Habibie pada 1965.

Pulang ke Tanah Air

Selagi ia meneruskan karier di pabrik pesawat Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) di Hamburg, pada 1973 sebuah panggilan pulang mendatangi Habibie. Kakak ipar Habibie, Brigjen Subono Mantofani, menyampaikan kabar yang datangnya dari Presiden Soeharto itu. Soeharto yang mendengar kecemerlangan Habibie di Jerman sampai menduduki posisi Wakil Presiden Direktur Teknik MBB, ingin memanfaatkan pikirannya untuk ikut membangun negeri.

Dua malam setelah tiba di Indonesia pada 26 Januari 1974, Hibibie menghadap Soeharto di Jalan Cendana. Soeharto memintanya membantu pembangunan industri. Habibie menyanggupinya. Habibie pun bertanggungjawab membangun industri pesawat di Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia/PT DI).

Ia memulainya dengan membuat sebuah rancangan pesawat, meski harus mencari mitra asing. “Habibie akhirnya mendapat mitra yang diinginkannya, yaitu CASA Spanyol yang setuju bekerjasama dalam pembuatan NC 212 Aviocar Twin-turboprop,” kata Makmur.

Puncak prestasi Habibie adalah produksi pesawat N-250. Pesawat itu lahir saat Habibie memimpin IPTN merangkap sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Habibie menamainya “Gatotkoco”. Ia memperlihatkan “mahakaryanya” itu ke hadapan Presiden Soeharto pada 10 Agustus 1995.

Pesawat itu lepas landas dengan sempurna dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung, berputar di udara Jawa Barat, Laut Jawa, dan kembali ke Lanud Husein. Rombongan, termasuk Soeharto, menampakkan wajah haru dan kagum.

“Saya menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada IPTN. Mudah-mudahan akan jadi kebanggaan Indonesia dan juga negara-negara berkembang lainnya yang senasib dengan Indonesia,” tutur Soeharto saat itu.

Dari berbagai sumber.

 

Selamat jalan Guru Bangsa, engkau berpulang dalam kesempurnaan.



Baca Juga