Dialog Remediasi FSC, Angin Segar untuk Penyelesaian Konflik Sosial dan Lingkungan di Riau

  • Rabu, 03 Desember 2025 - 19:18 WIB

KLIKMX.COM, PEKANBARU - Upaya pengelolaan hutan yang berkeadilan, ramah lingkungan dan bertanggung jawab terus bergerak di Provinsi Riau. 

Hal ini ditegaskan dalam Dialog Pemangku Kepentingan terkait Implementasi Kebijakan Forest Stewardship Council (FSC) yang digelar di Pekanbaru, Rabu (3/12/2025). 

HONDA ATAS (hut Pelalawan)

Forum yang menghadirkan pemerintah kabupaten/ kota, akademisi, organisasi masyarakat adat, LSM, perusahaan dan perwakilan desa ini, menjadi momentum penting perumusan remediasi dan angin segar untuk penyelesaian konflik sosial dan lingkungan yang telah berlangsung puluhan tahun di Riau.


Direktur Patala Unggul Gesang (PUG) Nazir Foead membuka forum dengan menekankan bahwa proses remediasi FSC membutuhkan sikap saling memahami dan kesiapan 'mundur satu dua langkah' dari semua pihak. Ia merujuk pesan Menteri Kehutanan yang menyatakan bahwa konflik hanya dapat diselesaikan bila semua pihak bersedia melihat posisi masing-masing. 

Nazir mengungkap, bahwa sejak Januari 2025, PUG bersama tim telah turun langsung ke desa-desa di Kabupaten Kuansing, Pelalawan, Indragiri Hulu (Inhu) dan Siak, untuk memperkenalkan konsep remediasi FSC melalui workshop dan dialog moderasi. Mereka tinggal hingga beberapa bulan di desa, mencatat aspirasi warga dan mengidentifikasi persoalan-persoalan sosial-lingkungan yang selama ini mengemuka.

"Perwakilan desa memaparkan hasil identifikasi masalah serta harapan mereka. Kami berharap perusahaan juga bersedia mendengarkan suara masyarakat," ungkap Nazir.


Nazir menegaskan, bahwa FSC Remedy Framework memberi kesempatan bagi perusahaan untuk memperbaiki dampak lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan pada masa lalu.

"Kalau hutan dibabat dan masyarakat kehilangan sumber daya, perusahaan harus memulihkannya," tegasnya.

Nazir mengatakan, antusiasme masyarakat dalam hal ini sangat tinggi. Mereka datang membawa harapan besar agar kerugian nilai lingkungan dan sosial yang pernah terjadi benar-benar dipulihkan.

"Masyarakat dari unsur pemerintah desa, pemuka adat, tokoh perempuan, hingga pemuda sangat antusias menyampaikan aspirasi. Mereka ingin memastikan apa saja yang harus masuk dalam remediasi," kata Nazir.

Dijelaskannya, bahwa April Group sebagai perusahaan HTI, telah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan remediasi FSC yang mewajibkan penggantian nilai sosial, budaya dan lingkungan yang hilang.

"Masyarakat yang merasa menyampaikan langsung apa yang perlu dipulihkan. Perusahaan juga berkomitmen membahasnya secara serius bersama mitra-mitranya," ucapnya.

Nazir berharap, dialog tatap muka antara perusahaan dan masyarakat di 10 desa bisa dilakukan secepatnya, dengan prinsip kesetaraan dan moderator independen.

"Kita berharap beberapa bulan ke depan sudah ada kesepakatan awal. Tidak semua bisa dikerjakan sekaligus, mungkin dua dulu, lalu disusul lainnya," kata Nazir.

Diketahui, FSC yang berdiri di Jerman pada 1993, adalah organisasi internasional nirlaba yang menetapkan standar global pengelolaan hutan berkelanjutan. Produk bersertifikat FSC menjamin pemenuhan aspek perlindungan lingkungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan adat, pengelolaan hutan yang sesuai hukum dan relasi yang setara antara perusahaan dan masyarakat.

Melalui FSC Remedy Framework, perusahaan yang ingin mendapatkan atau mempertahankan sertifikasi, diwajibkan memulihkan kerusakan sosial-lingkungan masa lalu, termasuk konflik tanah, hilangnya akses masyarakat terhadap sumber daya, hingga kerusakan ekosistem.

Direktur Utama April Group Mulya Nauli menegaskan, bahwa remediasi sosial FSC ini merupakan program pertama di dunia. Indonesia, khususnya di Bumi Lancang Kuning, menjadi pionir proses yang dinilai historis ini.

"FSC Remedy Sosial ini pertama kali dilakukan di dunia. FSC sendiri masih mengembangkan kerangkanya. Tapi kita ingin maju dan menjadi contoh," ujar Mulya.

Ia menjelaskan, perubahan aturan FSC memberi peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk mengikuti sertifikasi tanpa diskriminasi. Mulya menegaskan April Group akan menelaah seluruh aspirasi masyarakat satu per satu. 

Jika ada aspirasi yang tidak sesuai kerangka remediasi, tetap akan ditanggapi melalui kanal keluhan resmi perusahaan. "Beberapa desa menganggap program CSR tidak transparan. Ini akan kami evaluasi. Rembuk desa sudah dilakukan setiap tahun, tapi mungkin tidak semua desa mengetahuinya. Itu kekurangan kami," jelas Mulya.

Dari Desa Talang Pring Jaya, Kecamatan Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Batin Tarmili (52) menyampaikan, harapan besar agar remediasi benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat. "Kami hidup di kampung sejak dulu berladang berpindah. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Itu yang harus dikembalikan kepada kami," ujarnya.

Di sisi lain, Guru Besar Ekologi Manusia IPB Suryo Adiwibowo menjelaskan, bahwa FSC adalah standar internasional yang lahir dari kegelisahan atas deforestasi besar-besaran di negara-negara berkembang.

Ia mengurai prinsip FSC, termasuk kepatuhan hukum, perlindungan hak pekerja, penghormatan hak masyarakat adat, konservasi nilai tinggi (High Conservation Value) dan audit independen berkala. Menurut Suryo, penerapan Remedy Framework di Riau adalah yang pertama di dunia.

"Ini momentum langka. Kesediaan perusahaan untuk menerapkan remediasi harus disambut karena akan membawa lompatan bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan di Riau," jelasnya.

Sementara itu, Representatif FSC Indonesia Hartono Prabowo dalam pernyataannya yang dibacakan oleh Mahir Takaka sebagai Standart Development Group FSC mengatakan, program remediasi mendorong perusahaan kehutanan untuk lebih bertanggung jawab terhadap isu sosial dan lingkungan.

"Program ini sangat relevan bagi perusahaan kehutanan di Indonesia. Kami menghargai dukungan Kementerian Kehutanan, Pemprov Riau, serta pemerintah kabupaten dalam proses ini," katanya.

Ia juga mengapresiasi kerja PUG dan para fasilitator desa yang selama lima bulan menghimpun aspirasi masyarakat. Pertemuan bersama perwakilan desa, perusahaan, dan pemerintah hari ini, dinilai sebagai langkah penting menuju pembentukan Core Dialogue Group, kelompok dialog inti yang menjadi syarat resmi Program Remediasi FSC.

"Program remediasi bukan kembali ke masa lalu, tetapi memperbaiki kerusakan demi masa depan yang lebih baik untuk semua," ucapnya. 

Sementara itu, Asisten II Setdaprov Riau Drs H Helmi D MPd mewakili Plt Gubernur Riau SF Haryanto menegaskan, pemerintah provinsi memandang remediasi FSC sebagai upaya menghadirkan keadilan ekologis, sosial dan ekonomi.

“Dampak persoalan bukan hanya lingkungan, tetapi menyentuh akses masyarakat terhadap air bersih, pangan, hingga konflik ruang yang memecah komunitas desa," ujarnya.

Helmi menekankan, bahwa rekomendasi desa tidak boleh berhenti sebagai dokumen, tetapi harus berubah menjadi agenda aksi. "Remediasi FSC dapat menjadi platform penting yang menyatukan kepentingan masyarakat, pemerintah dan korporasi," ungkapnya. 

Dalam diskusi ini, sejumlah Pemda yang hadir menyatakan komitmen penuh terhadap proses remediasi. Sekda Inhu Zulfahmi Adrian menyatakan komitmen menyelesaikan persoalan desa-desa terdampak, khususnya Talang Durian Cacar dan Talang Pringjaya.

"Kami juga meminta perusahaan bekerja sama dengan pemerintah untuk menuntaskan permasalahan akar rumput," ucapnya. 

Sementara itu, Wakil Bupati Kuansing Mukhlisin menyoroti luasnya HTI di Kuansing mencapai 86 ribu hektare, yang berbatasan langsung dengan wilayah desa. Dengan kondisi ini, konflik sosial dan agraria tak terhindarkan, termasuk terkait kebutuhan kayu untuk pembuatan perahu pacu jalur, tradisi budaya mendunia.

"Hadirnya FSC bisa memberi jalan keluar terbaik. Masyarakat ingin menjaga budaya, tapi mereka juga harus patuh aturan," katanya.

Kabag Hukum Pemkab Siak Asrafli menegaskan, Siak memiliki ruang gerak masyarakat yang terbatas akibat dominasi kawasan hutan dan izin HGU. ''Kami berjuang agar masyarakat mendapatkan hak atas tanah dan hutan. Remediasi ini sangat sejalan dengan perjuangan itu," tegasnya.

Bupati Pelalawan Zukri turut menyampaikan pandangannya. Ia mengakui industri telah memberi kontribusi untuk Pelalawan, namun masih ada kondisi masa lalu yang harus diperbaiki.

"Industri dibutuhkan, tapi industri yang baik. Remediasi harus memberi dampak besar bagi rakyat," pungkasnya. ***

 



HUT PELALAWAN ke 26

Baca Juga