Kelapa untuk Kesejahteraan Rakyat (1) 

Sandaran Hidup di Tengah Anjloknya Harga

  • Senin, 20 Maret 2023 - 14:36 WIB


KELAPA merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Indragiri Hilir. Hampir 65 persen di antaranya bergantung hidup dari sektor ini. Tak hanya bagi pemilik kebun, termasuk juga mereka yang sekadar mengambil upah.

Laporan: Lukman Hakim
Indragiri Hilir


Terik matahari begitu menyengat. Seakan membakar kulit. Menggunakan daun kelapa sebagai pelindung panas yang ditancapkan di sisi kiri dan kanannya, Rodiah sibuk menyolak. 


"Awak ngupahnyo," ujar perempuan 50 tahun itu saat ditemui, Sabtu, 18 Maret 2023 sekira pukul 10.30 WIB. 

Rodiah tak punya kebun kelapa. Sejak suaminya meninggal dunia delapan tahun silam, ia menyolak di kebun orang. Tak ada keahlian lain. Sektor ini menjadi sandaran hidupnya. 

Menyolak merupakan sebutan untuk aktivitas mengupas kulit kelapa. Kelapa bulat harganya lebih rendah dibanding yang sudah dikupas.  


Anjloknya harga kelapa berimbas pada upah yang diterima Rodiah. Menyolak 1.000 butir kelapa, janda tiga anak itu diupah Rp 130 ribu. Dulunya saat harga masih tinggi, upahnya lumayan. Hampir 300 ribu. 

Uang yang didapat, digunakan Rodiah untuk memenuhi kebutuhan dapur serta biaya pendidikan si bungsu yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Dua anaknya yang lain sudah berkeluarga. Ada membantu, tapi seadanya. Sebab ekonomi mereka pun tak jauh beda  dengan Rodiah. 

Rodiah menyolak di kebun yang dikelola Yono. Ya, Yono hanya mengelola, bukan pemilik kebun. Juga mengambil upah. "Sistem bagi hasil," sebut Yono.

Terenyuh dengan kondisi ekonomi Rodiah yang mendasari Yono mempekerjakannya. Niatnya membantu agar Rodiah bisa meraup pundi-pundi rupiah, walau dengan upah yang minim akibat rendahnya harga kelapa. 

Kebun yang dikelola Yono, tempat Rodiah menyolak, berada di pinggir jalan utama Kampung Hidayat, Desa Teluk Dalam, Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra), Indragiri Hilir. Ada sekitar 600 batang pohon kelapa. Kebun milik orang Tembilahan. Masih ada hubungan kekerabatan dengan Muhammad Mukri Pahsan bin H Masri, keturunan dari Tuan Guru Sapat.

Diketahui, perkebunan kelapa di Kampung Hidayat pertama kali dirintis oleh Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif al-Banjari bin Mahmud bin Jamaluddin, saat ia bermukim di sini. Ada puluhan hektare awalnya. 

Ulama dari etnis Banjar yang dikenal dengan panggilan Tuan Guru Sapat itu, kemudian membagi-bagikan kebun kepada keturunannya. 

"Tuan Guru Sapat masuk ke Kampung Hidayat sekitar tahun 1910an. Kebun yang dibangun, awalnya dibagi-bagikan kepada anak cucu. Sampai sekarang, ada juga kebun kelapa peninggalan Tuan Guru Sapat yang sudah dijual ke masyarakat sekitar oleh anak keturunannya," sebut Cik Imuk, sapaan akrab Muhammad Mukri Pahsan bin H Masri. 

Cik Imuk, sapaan akrab Muhammad Mukri Pahsan bin H Masri memperlihatkan foto Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif al-Banjari bin Mahmud bin Jamaluddin (Tuan Guru Sapat) beserta keluarga.

Cik Imuk merupakan keturunan ke-6 dari Tuan Guru Sapat. Ia menjadi penjaga rumah singgah, menyambut tamu yang datang dengan tujuan ziarah ke makam Tuan Guru Sapat. Ahli waris yang menunggu rumah singgah ini bergantian. "Setelah 28 hari, ganti dengan ahli waris lain," jelas Tajarudin, Kasi Pemerintahan Desa Teluk Dalam.

Dari Tembilahan ke Kampung Hidayat, jaraknya sekira 15 menit perjalanan menggunakan speedboat pancung dua mesin yang masing-masing berkapasitas 200 PK. "Kecepatan 35 knot," sebut Herman, anak buah kapal. 

Berangkat dari Pelabuhan Rumah Sakit, Parit 13 Tembilahan pukul 08.30 WIB, sampai di Pelabuhan Kampung Hidayat pukul 08.45 WIB. Menggunakan ojek, tak lebih tiga menit, tibalah di kebun yang dikelola Yono. Posisinya sebelah kiri jalan. 

"Tak semua warga Kampung Hidayat yang punya kebun. Rata-rata bagi hasil, ada juga mengambil upah menyolak," cerita Nata, siswa kelas 3 sekolah menengah atas yang nyambi ngojek. 

Saat ini, harga kelapa terbilang murah. Hanya Rp 1.500 per kilo. Sudah dua tahun harga tak naik. 

"Sebutir kelapa, kadang ada beratnya 1,2 kg, minimal 1 kg. Dulu harganya sempat mencapai Rp 2.600, bahkan pernah 3.000 lebih," lanjut Yono. 

Panen tiga bulan sekali. Jika lagi beruntung, bisa sampai 10 ton kelapa yang terjual. Pernah pula susut, tinggal 6-7 ton.  

Hasil penjualan kelapa bagi dua, 50-50 dengan pemilik kebun. Bagian pemilik kebun, utuh 50 persen. Sementara dari bagian Yono, harus pula dikeluarkan untuk upah Rodiah, termasuk biaya pemeliharaan kebun dan ongkos angkut. 

"Mau tak mau, walau hanya mengelola dan harganya saat ini murah. Cuma kelapa ini mata pencaharian," ujar pria berusia 45 tahun tersebut. 

Cerita miris akibat anjloknya harga kelapa, tak hanya dialami Rodiah dan Yono. Pemilik kebun kelapa pun merasakan yang sama. Seperti halnya Tajarudin, Kasi Pemerintahan Desa Teluk Dalam. 

Kasi Pemerintahan Desa Teluk Dalam Tajarudin berada di sekitaran kebun kelapa milik warga Kampung Hidayat.

Sejak harga turun, ia tak lagi bisa mempekerjakan orang. Terpaksa panen sendiri. Sebab jika diupahkan, hasil yang didapat tak lagi maksimal. 

Di lahan seluas dua hektare miliknya, ada sekitar 7.000 batang pohon kelapa. Lokasinya di Sungai Piyai. Lewat jalur darat, sekitar 30 menit pakai sepeda motor dari Kampung Hidayat. 

"Rawat seadanya, dan penen pun terpaksa sendiri. Tak sanggup lagi ngupah, apalagi sempat susut 4 ribu butir," keluhnya. 

Tajarudin berharap, ada perhatian dan upaya pihak terkait agar harga kelapa kembali tinggi. Sebab, banyak yang bergantung hidup dari sektor ini. Tak hanya bagi mereka pemilik kebun, tapi juga masyarakat seperti Rodiah dan Yono, yang sekadar mengambil upah. *
 



Baca Juga