Dari Ujian Nasional ke Asesmen Nasional: Saatnya Sekolah Menjadi Pusat Inovasi Pendidikan
- Jumat, 04 Juli 2025 - 10:00 WIB

Oleh : Nuraini Rahmawati, Riche Zurnia Sumbahari dan Shelvira Elsa Dwita
Sejak beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia mengalami salah satu perubahan mendasar: beralih dari Ujian Nasional (UN) ke Asesmen Nasional (AN). Di balik kebijakan ini, ada pergeseran filosofi besar: dari sekadar mengukur angka kelulusan menuju memotret kualitas pendidikan secara lebih utuh.
Sebagai guru, orang tua, atau siapa pun yang peduli pendidikan, kita patut bertanya: apakah perubahan ini sekadar ganti nama, ataukah benar-benar membawa perbaikan nyata?
UN: Standar Sama untuk Semua, Tapi Apakah Adil?
Selama puluhan tahun, UN menjadi momok tahunan. Semua siswa diukur dengan soal yang sama, pada waktu yang sama, dengan target yang sama: lulus dengan nilai tinggi. Sistem ini memang menciptakan “keadilan prosedural” — semua anak diuji dengan cara yang seragam.
Namun, di balik seragam itu, sering luput fakta bahwa kondisi sekolah di pelosok dan perkotaan sangatlah timpang.
Banyak kepala sekolah dan guru hanya berperan sebagai pelaksana teknis: memastikan soal datang tepat waktu, ujian berjalan lancar, nilai dikirim ke pusat. Celakanya, hasil UN lebih sering jadi angka statistik — bukan bahan refleksi untuk memperbaiki mutu belajar.
AN: Bukan Lagi Sekadar Nilai, Tapi Cermin Sekolah
Asesmen Nasional (AN) tidak lahir untuk menggantikan Ujian Nasional hanya dalam nama. Esensi AN adalah pergeseran cara pandang: mutu pendidikan tidak bisa dilihat hanya dari nilai kognitif siswa, tetapi harus dibaca secara menyeluruh — apa yang dia pelajari, bagaimana ia belajar, dan di mana ia belajar.
AN memotret tiga aspek penting. Pertama, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) menilai kemampuan literasi membaca dan numerasi — dua keterampilan dasar yang menjadi pondasi semua mata pelajaran.
Ini berbeda dengan UN yang dulu menilai banyak mata pelajaran sekaligus, tetapi kadang luput memastikan apakah anak benar-benar paham konsep mendasar.
Kedua, Survei Karakter merekam nilai-nilai yang tertanam di siswa. Apakah anak-anak kita jujur, toleran, peduli, mampu bekerjasama? Semua ini tidak pernah disentuh UN, padahal karakter adalah bagian dari tujuan pendidikan nasional. AN mengajak sekolah melihat kembali: pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan manusia seutuhnya.
Ketiga, Survei Lingkungan Belajar memotret iklim belajar di sekolah — bagaimana relasi guru-siswa, apakah ada praktik perundungan, apakah sekolah mendukung kebebasan bertanya dan berpendapat.
Data ini ibarat kaca besar. Kepala sekolah bisa melihat apakah sekolahnya ramah anak atau justru kaku dan menekan. Guru pun bisa bercermin: apakah cara mengajar mereka sudah inklusif dan adaptif?
Sayangnya, cermin hanya bermanfaat kalau berani melihat pantulan di dalamnya.
Di sinilah tantangan terbesarnya. Banyak sekolah belum siap menatap ‘bayangan’ mutu sekolahnya sendiri. Beberapa malah menolak hasil AN karena merasa memalukan. Padahal di situlah kekuatan AN: membuka ruang dialog jujur. Jika hasil literasi rendah, maka sekolah tahu harus memulai dari mana. Jika iklim belajar tidak sehat, maka inilah alarm untuk berubah.
AN seharusnya membangun budaya reflektif. Sekolah tak lagi sibuk mengejar ranking demi ranking, tetapi fokus memperbaiki hal-hal mendasar yang mungkin selama ini diabaikan. Ini yang membuat AN jauh lebih bernilai dibanding sekadar angka di ijazah. Hasilnya tidak hanya ditulis di rapor, tetapi diterjemahkan ke program nyata: pelatihan guru, pembelajaran berdiferensiasi, perbaikan pola komunikasi sekolah dan orang tua.
Dengan kata lain, AN memposisikan sekolah sebagai organisasi pembelajar — terus belajar, membaca data, dan bertindak. Di sinilah harapan besar itu bertumpu: menjadikan sekolah benar-benar pusat perbaikan, bukan sekadar penerima kebijakan dari atas.
Tantangan Baru: Siapkah Sekolah Bertransformasi?
Meskipun gagasan Asesmen Nasional terdengar ideal — lebih fleksibel, lebih reflektif, dan berbasis data — praktik di lapangan tidak selalu seindah naskah kebijakan. Banyak sekolah di Indonesia masih gagap menghadapi perubahan paradigma ini.
Fakta di berbagai daerah menunjukkan, belum semua kepala sekolah memiliki kapasitas manajerial untuk menafsirkan data AN menjadi program kerja nyata. Tidak sedikit yang hanya berhenti pada laporan angka, tanpa tindak lanjut yang berdampak ke kelas. Begitu pula guru. Banyak guru masih terbiasa bekerja dengan pola “selesai mengajar, selesai urusan”.
Mereka belum terbiasa menganalisis data diagnostik untuk memetakan kelemahan literasi, numerasi, atau karakter siswa.
Budaya refleksi pun belum sepenuhnya tumbuh. Dalam sistem UN, sekolah terbiasa bersikap reaktif: menyiapkan siswa menjelang ujian, lalu merayakan angka kelulusan. Selesai di situ. AN menuntut cara kerja sebaliknya: proaktif, berkelanjutan, dan penuh kesadaran bahwa setiap data punya nyawa.
Selain soal budaya, tantangan lain datang dari infrastruktur. Tidak semua sekolah memiliki jaringan internet memadai, perangkat teknologi mendukung, atau SDM operator yang paham teknis pelaksanaan AN digital. Di beberapa daerah terpencil, bahkan distribusi soal AKM pun jadi kendala. Pemerintah pusat memang menyediakan pendampingan, tetapi praktiknya masih sering tidak merata.
Masalah ini makin rumit jika kepemimpinan sekolah masih berorientasi administratif semata. Kepala sekolah yang hanya berperan sebagai penanda tangan dokumen tanpa visi pembelajaran tidak akan mampu mendorong transformasi. Padahal, hasil AN idealnya dibaca bersama guru, dikomunikasikan dengan orang tua, lalu diintegrasikan ke perbaikan pembelajaran di kelas.
Namun, di balik tantangan ini, sebenarnya AN justru membuka peluang: sekolah yang mau berubah akan tampak menonjol. Sekolah yang aktif memanfaatkan data AN terbukti mampu menyusun program penguatan literasi-numerasi, membentuk tim pengembang mutu, hingga menumbuhkan komunitas belajar guru. Perlahan, muncul budaya sekolah berbasis data (data-driven school).
Pertanyaannya sederhana tapi mendalam: siapkah kita — mulai dari kepala sekolah, guru, pengelola dinas, sampai orang tua — mau berubah?
Transformasi AN bukan tugas satu-dua orang. Ia membutuhkan kepemimpinan visioner, guru yang mau belajar hal baru, orang tua yang terbuka diajak terlibat, dan pemerintah yang mendukung dari kebijakan hingga anggaran. Jika salah satu mata rantai ini lemah, maka mimpi menjadikan AN sebagai peta jalan mutu pendidikan hanya akan berhenti di dokumen.
Kesempatan Sekolah untuk Merdeka Belajar
Sesungguhnya, Asesmen Nasional adalah pintu masuk bagi sekolah untuk benar-benar mewujudkan semangat Merdeka Belajar. Konsep Merdeka Belajar yang digaungkan pemerintah bukan sekadar slogan, melainkan ajakan agar satuan pendidikan berani melepaskan diri dari pola pikir lama yang kaku dan seragam.
AN hadir membawa data — dan data inilah bahan bakar kemerdekaan. Dengan data AKM, sekolah tahu peta kemampuan literasi dan numerasi murid secara nyata.
Dengan Survei Karakter, sekolah bisa menilai apakah nilai-nilai integritas, gotong royong, dan kemandirian benar-benar hidup di ruang kelas. Dengan Survei Lingkungan Belajar, sekolah dapat memetakan seberapa sehat iklim sekolah untuk tumbuh kembang siswa.
Sayangnya, di banyak tempat, hasil AN hanya berhenti di rapat kepala sekolah dan dinas. Padahal di sinilah kesempatan emas muncul: sekolah punya kewenangan untuk menafsirkan data, merancang solusi, dan menyesuaikan strategi belajar sesuai kebutuhan nyata peserta didik.
Contoh sederhana: jika data AN menunjukkan kemampuan literasi membaca siswa kelas 5 SD masih di bawah rata-rata nasional, sekolah dapat merancang program literasi terfokus — membuat pojok baca, memperbanyak jam membaca, membangun kebiasaan membaca nyaring bersama orang tua di rumah.
Guru-guru pun bisa dilatih agar tidak hanya mengajar materi, tetapi juga menanamkan keterampilan memahami bacaan lintas mata pelajaran. Di tingkat SMP atau SMA, jika Survei Lingkungan Belajar mengungkap masih banyak siswa merasa tertekan atau mengalami perundungan, kepala sekolah dapat menggagas forum diskusi siswa, membentuk tim guru BK yang lebih aktif, atau membuka jalur komunikasi antara guru dan orang tua agar masalah diselesaikan lebih awal.
Di sinilah Merdeka Belajar menemukan bentuk nyatanya: sekolah tidak lagi sekadar menunggu instruksi pusat, melainkan mampu merumuskan solusi berbasis data lokal. Kepala sekolah menjadi pemimpin transformasional, guru menjadi perancang pembelajaran adaptif, siswa menjadi pembelajar aktif, dan orang tua diajak terlibat mendampingi.
Namun kemerdekaan selalu datang bersama tanggung jawab. Kebebasan merancang strategi harus diimbangi dengan komitmen refleksi berkelanjutan. Data AN yang datang setiap tahun harus dianalisis ulang, hasil tindak lanjut dievaluasi, kemudian program disesuaikan lagi. Inilah siklus belajar yang sesungguhnya: tidak berhenti di target angka, tetapi hidup dalam aksi nyata.
Kalau semua pihak mau membuka diri, AN dan Merdeka Belajar bukan hanya jargon di spanduk.
Ia menjadi jalan agar sekolah benar-benar punya kendali atas mimpinya sendiri: mendidik anak-anak Indonesia agar cerdas, berkarakter, dan siap hidup di abad 21.
Penutup
Perubahan dari Ujian Nasional ke Asesmen Nasional sejatinya bukan hanya pergantian format penilaian, melainkan pintu masuk bagi sekolah untuk bertransformasi menjadi pusat inovasi pembelajaran. Di dalam AN, sekolah memiliki cermin untuk melihat kekuatan sekaligus kelemahan diri: kemampuan literasi-numerasi, karakter peserta didik, hingga iklim belajar di lingkungan sekolah.
Namun cermin itu tidak akan berarti apa-apa tanpa kemauan untuk menatapnya jujur. Sekolah yang siap berubah akan memanfaatkan data AN sebagai bahan bakar untuk merancang pembelajaran yang relevan, menumbuhkan budaya refleksi, dan memberdayakan guru serta orang tua dalam mendukung tumbuh kembang anak.
Tentu jalan ini tidak mudah.
Hambatan budaya kerja lama, keterbatasan infrastruktur, hingga kepemimpinan yang masih administratif menjadi tantangan nyata. Tetapi inilah tantangan yang harus dijawab bersama. AN adalah undangan untuk bergerak — dari sekadar menerima nilai, menjadi pengelola mutu berbasis data.
Dari sekadar pelaksana kebijakan, menjadi penggerak inovasi di tingkat sekolah.
Kini, semuanya kembali pada pertanyaan mendasar: Apakah kita, para pendidik, pemimpin sekolah, orang tua, dan pemangku kebijakan, siap berjalan bersama menuju sekolah yang merdeka, reflektif, dan terus belajar?
Karena pada akhirnya, masa depan pendidikan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh angka kelulusan, tetapi oleh sejauh mana sekolah berani berubah untuk menjawab kebutuhan zaman. ***