FGD Perpres 5 2025 di HPN Riau, Bahas Optimalisasi Industri Kehutanan dan Kelapa Sawit Berkelanjutan

  • Sabtu, 08 Februari 2025 - 17:35 WIB

KLIKMX.COM, PEKANBARU - Sebagai bagian dari elemen yang ikut serta sebagai media penyalur aspirasi masyarakat, PWI Riau menggelar Focus Grup Discussion (FGD) dengan pembahasan diskusi Perpres No 5 Tahun 2025, Sabtu (8/2/2025).

Khususnya optimalisasi industri kehutanan dan industri kelapa sawit yang berkelanjutan, di Nazir Ballroom  Hotel Mutiara Merdeka, Pekanbaru.

HONDA ATAS

Dalam FGD yang dipantik oleh Prof Rajab Ritonga dan dimoderatori oleh Marah Siregar ini menghadirkan beberapa orang pembicara di antaranya, Agus Suryoko SH MH (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Dr Sadino (Pengamat dan Pakar Hukum Kehutanan), Muller Tampubolon SE MM (Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (IPHI) serta Prof Rajab Ritonga (Pemerhati Media). 


FGD ini merupakan salah satu bentuk kinerja PWI dalam menampung apa saja yang menjadi problem di masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah.

Peraturan presiden tentang penertiban kawasan hutan menjadi topik hangat di kalangan industri kelapa sawit Indonesia. Berbagai pihak termasuk praktisi hukum dan pelaku industri memperdebatkan implikasi hukum dari Perpres ini. 

FGD ini juga membahas secara komprehensif dampak dan potensi konflik hukum yang ditimbulkan oleh Perpres 5 tahun 2025 terhadap industri kelapa sawit di Indonesia. Selain itu juga memberikan rekomendasi solusi yang konstruktif untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi. 


Dalam pemaparannya, Agus Haryoko dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau mengatakan, luas area hutan di Riau ini sejumlah 5.3 juta hektare.

"Luasan ini mencakup tiga sektor atau area di antaranya Fungsi Hutan Lindung, Fungsi Hutan Konservasi, dan Fungsi Hutan Produksi. 

Agus mengatakan ada beberapa persoalan di antaranya 1.8 juta hektare yang belum memiliki legalitas sektor perkebunan. 

"Kawasan hutan ini sesuai dengan definisi dalam keputusan MK Tahun 2014, dengan melakukan penegakan hukum di dalam kawasan hutan.

"Kami sering melakukan beberapa upaya dalam tindakan ini. Namun sering diuji dalam proses Pra Pradilan,'' katanya.

Dengan dipisahkannya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini diharapkan adanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat. 

"Dengan adanya kebijakan ini diharapkan dapat menghadirkan keadilan di tengah masyarakat,'' ucapnya. 

Sementara itu, Dr Sardono dalam penyampaian materinya mengatakan, dampak Perpres terhadap pelaku usaha sawit menimbulkan ketidakpastian operasional karena beresiko potensi pengambilalihan oleh negara.

''Oleh karena itu, perlu kajian untuk direvisi lagi. Karena dinilai perpres ini banyak merugikan para pelaku usaha,'' kata Sardono.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Riau, Muller Tampubolon, SE MM saat menyampaikan materi mengatakan, perlu landasan hukum dan terbitnya perpres untuk melakukan percepatan penyelesaian permasalahan tata kelola lahan perkebunan. 

"Jika dijalankan maka tidak banyak yang bermasalah, ada pendapatan negara bukan pajak dari keterlanjuran dan optimalisasi pendapatan negara. Kalaupun harus dipulihkan kembali, maka ini bisa dibahas di forum - forum khusus,'' kata Muller.

Terakhir, Prof Rajab Ritonga selaku praktisi media turun memantik diskusi tersebut. Rajab mengatakan penertiban kawasan hutan ini merupakan ekosistem daratan yang merupakan bagian dari SDGs. Hal ini juga bisa ditinjau dan bisa diuji ke Mahkamah Agung.

"Dengan luasnya jumlah daratan Indonesia menyatakan tidak bisa melepaskan diri dari kawasan daratan, Indoneia dikenal dengan banyaknya pulau dan kepulauan. Sumberdaya kehutanannya luar biasa. Luas hutan Indonesia secara keseluruhan 125 juta hektare,'' paparnya.

Sejauh ini, Rajab mengatakan banyaknya media yang memberitakan tentang keadaan hutan khususnya di Riau, di antaranya kebakaran hutan, ilegal logging dan pergeseran patok perusahaan.

"Tidak menutup kemungkinan bakal terjadi pemberitaan - pemberitaan miring yang terjadi di lapangan,'' ungkapnya.

Oleh karena itu, dirinya mengatakan pembangunan harus tetap berjalan, tetapi harus sesuai dengan rel yang tersedia. 

Persoalan mengenai hukum dan media harus disesuaikan dengan mekanisme yang berlaku, sehingga menjadikan berintegritas dan berkualitas serta mematuhi dengan kode etik. ***



Baca Juga