Teso Nilo, Antara Dua Nafas Kehidupan
- Kamis, 19 Juni 2025 - 10:57 WIB
- Redaktur : Nofri Yandi

Oleh Ricky Rahmadia
Penggiat Diskusi Suara Riau
TESO Nilo hari ini menjadi saksi dari dua nafas kehidupan yang saling bertaut, nafas hayati dan nafas jasmani. Nafas hayati yang telah lama terkoyak karena ketidakpedulian manusia, menjadikan kawasan hutan lindung ini hampir habis tak bersisa.
Teso Nilo yang dahulu menjadi penyangga kehidupan, kini nyaris kehilangan jati dirinya. Rumah ribuan spesies hewan dan tanaman, pelindung udara dan penyeimbang iklim, semakin hari semakin musnah ditelan aktivitas yang abai akan keberlanjutan. Di sisi lain, ada nafas jasmani, kehidupan manusia yang menggantungkan penghidupan dari kebun kelapa sawit.
Ada ribuan jiwa, ribuan keluarga, yang menjadikan tanah ini sebagai tempat bertanam dan bertahan hidup.
Mereka bukan perusak, mereka adalah penyintas. Nafas yang harus pula dijaga, karena hidup mereka hari ini adalah bagian dari keberlangsungan kehidupan generasi esok.
Memang benar, negara tak salah dalam menegakkan aturan terhadap kawasan hutan lindung yang terletak di Riau itu. Penegakan hukum adalah kewajiban dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Tapi memilih di antara dua nafas kehidupan bukanlah perkara mudah. Keberlanjutan hayati memastikan nafas kehidupan berikutnya bagi anak cucu kita, negara menjaga itu semua.
Namun, nafas jasmani yang hari ini merintih karena sumber hidupnya kembali diambil, juga bagian dari perjuangan keberlanjutan itu sendiri. Teso Nilo adalah kawasan konservasi yang hampir habis. Kawasan yang menjadi rumah bagi gajah Sumatera, harimau, tapir, dan puluhan spesies burung endemik yang hari ini terus kehilangan ruang hidup.
Dari luas 83.000 hektare hari ini, hampir separuhnya telah dikonversi menjadi kebun, permukiman, dan area terbuka. Sisa-sisa ini, yang kita sebut sebagai paru-paru untuk Riau, harus diselamatkan.
Negara harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan yang melanggar harus dihukum dan tegak kan aturan. Tapi hukum yang ditegakkan bukan sekadar dalam hitam-putih aturan, melainkan dalam semangat keadilan. Hukum harus berpihak pada perlindungan hutan, sekaligus berpihak pada keberlangsungan hidup manusia.
Sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung, Teso Nilo memiliki fungsi ekologis yang tak tergantikan. Kawasan ini menyerap karbon dalam jumlah besar, menjaga keseimbangan iklim, dan menjadi sumber daya genetik yang sangat bernilai. Ia bukan hanya penting untuk Riau, tetapi untuk Indonesia dan bahkan dunia.
Hutan-hutan tropis seperti Teso Nilo menjadi elemen penting dalam agenda global untuk menahan laju krisis iklim. Namun, tekanan terhadap kawasan ini tidak datang begitu saja. Ketidakpastian ekonomi, akses atas lahan yang terbatas, dan lapangan kerja yang tak memenuhi tersedia, membuat masyarakat memilih membuka kebun sawit di wilayah hutan. Dalam proses ini, lahirlah dinamika yang rumit, ada petani kecil yang mengolah lahan karena terdesak, ada pula pemodal besar yang menyusup, memanfaatkan kondisi sosial dan lemahnya pengawasan.
Hari ini negara hadir. Penertiban kawasan hutan mulai digencarkan. Aparat diturunkan. Truk-truk sawit ditertibkan. Kebun-kebun hendak diratakan dikembalikan menjadi hutan. Dalam logika hukum, ini langkah penting untuk menyelamatkan hutan yang tersisa.
Tapi di lapangan, suara-suara tangis terdengar. Kehilangan Rumah, anak-anak yang kehilangan sekolahnya, orang tua yang kebingungan mencari tempat tinggal baru. Ini bukan fiksi. Ini kenyataan sosial yang tak boleh dipinggirkan dalam narasi hukum dan pelestarian.
“Alur berliku di air tenang, dalamnya muara tidak tampak”. Jangan hanya dilihat tenangnya, tapi pahami juga dalamnya. Ini mengajarkan kita untuk tidak hanya menilai permukaan, tapi menyelami akar persoalan.
Dalam konteks Teso Nilo, kita diajak untuk memahami bahwa pelanggaran terhadap hukum kehutanan tidak bisa dilihat semata sebagai niat jahat, tetapi juga sebagai jeritan hidup dari mereka yang terpinggirkan. Penyelesaian konflik di kawasan konservasi seperti Teso Nilo harus menempatkan keadilan ekologis dan keadilan sosial secara seimbang.
Penegakan hukum harus diarahkan untuk menindak pemodal besar, pengusaha sawit yang merambah ribuan hektar secara ilegal. Tapi terhadap masyarakat kecil, pendekatan restoratif harus dikedepankan. Memberi alternatif penghidupan, memberikan akses legal pada lahan di luar kawasan konservasi, dan mendampingi mereka agar keluar dari lingkaran pelanggaran yang sistemik.
Kita butuh kehutanan yang manusiawi. Yang menyelamatkan hutan dan menyelamatkan manusia. Kita ingin hukum yang tegas, tapi juga adil. Hukum yang menjaga rumah gajah dan rumah manusia. Yang memberi napas pada udara, dan napas pada perut yang lapar. Yang tak hanya melindungi hari esok, tapi juga menghidupi hari ini.
Jika ini kita pahami, maka perjuangan menyelamatkan Teso Nilo akan menjadi perjuangan menyelamatkan dua nafas kehidupan. Nafas hayati yang menghidupi bumi, dan nafas jasmani yang menghidupi manusia. Keduanya adalah satu kesatuan, dan keduanya adalah tanggung jawab kita semua.
Pada akhirnya, ketika kita bicara tentang masa depan Riau, kita bicara tentang keberanian untuk menata ulang relasi antara manusia dan alam. Kita bicara tentang kebijakan yang berpihak pada kehidupan, bukan hanya pada kepentingan sesaat. Kita bicara tentang Teso Nilo, bukan sebagai hutan yang jauh, tetapi sebagai cerminan nurani dan keseimbangan bangsa.
Biarlah dua air mata ini, air mata hutan dan air mata manusia, mengajarkan kita cara menangis yang bijak, bahwa menyelamatkan satu kehidupan, tak berarti harus mengorbankan yang lain. Tapi dengan kearifan, bisa kita jaga keduanya.
Teso Nilo kini berada pada simpang jalan peradaban, antara dua nafas yang berdesakan mencari ruang untuk bertahan. Dua nafas itu bukan sekadar simbol, tapi denyut hidup yang nyata, nafas hayati dan nafas jasmani. Nafas ekologi dan nafas ekonomi. Nafas penegakan hukum, dan nafas kemanusiaan.
Nafas hayati adalah nafas alam, nafas hutan yang menjadi tempat berpulangnya berbagai spesies dan unsur kehidupan. Ia adalah udara yang kita hirup, air yang kita teguk, tanah yang kita pijak. Teso Nilo dalam hal ini adalah jantung hijau Riau yang berdetak pelan namun pasti memberi kehidupan. Tapi nafas ini kini sesak, tertutup oleh keserakahan dan ketidakpedulian yang telah lama berlangsung.
Nafas jasmani adalah nafas manusia. Ia bukan hanya soal perut yang lapar, tetapi juga soal harga diri dan keberlangsungan hidup. Di sekeliling Teso Nilo, ribuan keluarga menggantungkan hidup pada kebun sawit yang telah mereka tanami selama bertahun-tahun. Mereka membangun rumah, menyekolahkan anak, dan menjaga kehidupan dari hasil kebun itu. Nafas mereka pun sesak, ketika penegakan hukum datang tanpa membawa serta keadilan sosial.
Di sinilah hadir nafas hukum. Negara hadir dengan keharusan menegakkan aturan, dan itu benar adanya. Tanpa hukum, kita kehilangan arah dan keadaban. Tapi hukum juga harus hidup dalam tubuh yang bernyawa, bernama keadilan. Hukum tanpa hati akan melukai. Penegakan tanpa keadilan hanya akan memperluas jurang antara negara dan rakyatnya.
Dan nafas yang tak kalah penting adalah nafas keseimbangan. Nafas antara ekologi dan ekonomi. Kita tak bisa hidup hanya dengan udara bersih jika rakyat tak mampu membeli beras. Tapi kita juga tak bisa menanam sawit tanpa menyisakan ruang bagi alam bernapas. Inilah titik paling rumit dalam urusan pembangunan hari ini, bagaimana menyeimbangkan pertumbuhan dengan pelestarian.
Perjuangan menjaga Teso Nilo adalah perjuangan menjaga dua nafas kehidupan. Ia tak bisa disederhanakan menjadi hanya soal pelanggaran atau ketaatan, hanya soal legal atau ilegal. Tapi harus dimaknai sebagai panggilan hati dan akal sehat untuk menjaga keberlangsungan seluruh bentuk kehidupan.
Teso Nilo pada akhirnya, bukan hanya medan perebutan antara manusia dan hutan, tetapi cermin dari cara kita memaknai kehidupan. Apakah kita bisa menjaga hutan tanpa mengusir manusia? Apakah kita bisa menegakkan hukum tanpa menindas kehidupan? Apakah kita bisa merawat bumi tanpa melupakan mereka yang paling lemah?
Dua nafas kehidupan yang satu sama lainnya soal keberlanjutan. Dua – duanya maha penting, menyeimbangkannya menjadi pekerjaan yang tak mudah.(***)