Refleksi Tesso Nilo : Nafas hayati yang Tua dan Nafas Manusia yang Rapuh
- Jumat, 11 Juli 2025 - 09:33 WIB
- Redaktur : Nofri Yandi

Oleh : Ricky Rahmadia
Penggiat Diskusi
Tahun 2016, dua ekor singa ditembak mati di sebuah kebun binatang Metropolitan Zoo, Santiago, Cile setelah seorang pria yang diduga berniat bunuh diri memasuki kandang Singa. Di tahun yang sama pula di Kebun Binatang Cincinnati, Amerika Serikat, seorang anak terjatuh ke dalam kandang seekor gorila jantan “Harambe”. Harambe menunjukkan naluri alaminya, menyeret, memegang bahkan mengancam nyawa. Petugas Kebun Binatang mengambil keputusan cepat, menembak mati “Harambe” demi menyelamatkan manusia. Dunia terbelah antara duka atas kematian makhluk langka dan pembelaan atas keselamatan manusia. Namun satu hal yang digaris bawahi, nyawa manusia adalah prioritas.
Hari ini, di Tesso Nilo dihadapkan pada dilema yang mirip, namun jauh lebih kompleks. Manusia bukan sekadar masuk ke kandang binatang buas. Mereka sudah hidup di dalamnya bertahun - tahun, beranak - pinak. Membuka lahan, menanam sawit, mencari penghidupan di tengah kelengahan negara dan pembiaran oleh aparat. Mereka bukan penjajah, bukan cukong, bukan korporasi. Mereka adalah manusia yang hidup di ruang abu-abu antara salah dan tak punya pilihan.
Mereka memang sudah lama menikmati sawit dalam lahan hutan. Tapi tak adil mengusir mereka serta merta. Bertahun-tahun sudah mereka hidup dan bertahan di dalamnya. Negara tak boleh hadir dengan penghakiman, melainkan dengan kebijaksanaan. Pemerintah harus punya jalan yang bijaksana dan berpihak. Bupati dan Gubernur harus berani bersuara membela masyarakatnya, berani lantang menyuarakan keadilan sosial. Bijaksana menilai siapa yang merambah dengan niat merusak, dan siapa yang sedang berjuang untuk bertahan hidup.
Dikotomi antara "pendatang" dan "warga lokal" pun perlu diperbaiki. Tak ada manusia yang pendatang di bumi yang merdeka bernama Indonesia. Sepanjang mereka adalah anak bangsa, maka dikotomi ini tak perlu menjadi sumber persoalan. Mereka bukan pendatang asing. Mereka adalah sesama warga negara Indonesia yang sedang berjuang bertahan hidup. Memang ada sebagian yang sejahtera karena membabat hutan, namun pemetaan terhadap makna "sejahtera" itu sendiri harus diperjelas. Sejahtera karena apa?
Jika memang ada yang berlebihan dalam penghidupan karena perambahan, memiliki ratusan hektar, kendaraan mewah, atau keuntungan dari praktik illegal, maka itu perlu diproses secara hukum. Mereka layak dijerat dengan pidana dan asetnya disita sebagai bagian dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) bukan malah pengampunan dan pembiaran. Tapi mereka yang hidup dari hasil satu atau dua kapling kebun sawit dan masih memikul galon demi anak-anaknya, perlu penanganan yang berbeda.
Sebaliknya di Tesso Nilo pula, gajah-gajah Sumatera, makhluk agung dan dilindungi kehilangan habitatnya, tersesat, kelaparan, dan mati oleh konflik yang sama. Ini bukan sekadar soal gajah atau sawit. Ini tentang pertanyaan mendasar, bagaimana memahami keadilan ketika dua bentuk kehidupan saling berhadapan dalam ruang yang sama?
Salah satu kutipan hukum tertua dari filsuf Romawi, Cicero menyatakan, “Salus populi suprema lex esto", “Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi." Ini bukan sekadar kalimat hiasan di buku hukum, tapi prinsip agung yang semestinya menjadi fondasi bagi setiap keputusan negara.
Jika hukum ditegakkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan historis, ia berubah menjadi alat kekuasaan. Jika aparat datang dengan ultimatum “relokasi mandiri” dalam tiga bulan tanpa solusi keberlanjutan, maka itu bukan penegakan hukum, itu pengusiran! Manusia bukan hewan yang bisa dipindahkan tanpa mempertimbangkan struktur hidup dan martabatnya. Hukum yang adil tidak menempatkan rakyat kecil sebagai beban, tapi sebagai subjek yang harus dilindungi.
Maka jangan buru-buru menuduh masyarakat sebagai perambah atau perusak hutan. Tanyakan lebih dahulu di mana negara ketika mereka membuka lahan itu? Siapa yang menjual? Siapa yang tutup mata? Dan siapa yang mendapat untung?
Hutan harus dikembalikan. Itu mutlak! Namun caranya tak boleh represif, terutama terhadap masyarakat yang bukan aktor utama kerusakan. Harus dibedakan antara perambah karena kebutuhan hidup dan perampok hutan yang terorganisir, cukong, mafia lahan, dan korporasi yang menanamkan modal lewat tangan-tangan gelap. Jangan sampai dengan para Cukong, mafia dan korporasi perambah negoisasi dijalankan, dengan menyerahkan lahan mereka diberi ampunan, tetapi dengan masyarakat ruang negoisasi ditiadakan.
Untuk masyarakat, pendekatan restoratif harus dikedepankan dengan memberi waktu transisi dua sampai tiga tahun agar mereka bisa menata hidup tanpa mencabut semua harapan sekaligus. Dalam rentang itu masyarakat masih diperbolehkan memanen, namun dilarang memperluas, sembari menanam tanaman kehidupan seperti jengkol, petai, durian, pohon – pohon sialang dan pohon-pohon yang bernilai ekonomis sekaligus ekologis dan mampu menghidupkan kembali harmoni hutan.
Salah satu bentuk konkret lainnya dari pendekatan ini adalah skema perhutanan sosial dengan hak pengelolaan terbatas bagi masyarakat. Mereka dapat tetap tinggal dalam kawasan hutan dengan luasan tertentu yang telah ditetapkan, tanpa izin untuk memperluas lahan baik untuk kebun, perumahan, maupun fasilitas lain di luar kebutuhan dasar. Fasilitas publik yang diperbolehkan dibatasi pada rumah ibadah, sekolah, puskesmas, dan lapangan olahraga masyarakat. Tanaman sawit diperbolehkan tetap tumbuh untuk satu siklus tanam atau dalam jangka waktu tertentu, namun secara bertahap harus disisipkan dan digantikan oleh tanaman kehidupan seperti jengkol, petai, durian, atau pohon sialang sebagai penghasil madu.
Selain itu ditetapkan pula batasan penguasaan lahan sawit, satu kepala keluarga maksimal hanya boleh memiliki lima hektare lahan, tanpa penambahan. Semua ketentuan ini harus didasarkan pada pendataan yang komprehensif dan transparan serta keseriusan penegakan aturan. Dengan demikian keadilan tercipta, ekosistem terselamatkan dan kehidupan masyarakat tetap berlanjut. Sebab penyelesaian persoalan manusia tak bisa dilakukan dengan kekerasan, tapi dengan pendekatan yang memberi ruang dan waktu, karena ini menyangkut keberlangsungan hidup.
Masyarakat tidak harus dipisahkan dari hutan untuk menyelamatkan hutan. Sebaliknya, bisa menjadi bagian dari solusi ekologis itu sendiri. Salah satu model yang layak dicontoh adalah skema agroforestri partisipatif yakni integrasi antara praktik pertanian berkelanjutan dengan pelestarian hutan. Dalam pendekatan ini, tanaman semusim bisa ditanam di sela-sela pepohonan hutan, dan masyarakat dilibatkan secara aktif menjaga tutupan hutan dengan insentif yang layak.
Skema seperti ini telah diterapkan di Kalimantan melalui model hutan desa, di Sulawesi lewat program hutan kemasyarakatan. Bahkan di kawasan konservasi Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah, masyarakat lokal diberdayakan dalam pengelolaan lahan gambut melalui izin perhutanan sosial berbasis restorasi ekosistem. Mereka tidak hanya mendapatkan penghasilan dari hasil hutan bukan kayu seperti rotan dan madu, tapi juga menjadi penjaga pertama yang memastikan kawasan tetap lestari. Keberhasilan di Sebangau membuktikan bahwa konservasi dan keterlibatan masyarakat bukan dua hal yang saling menegasikan, melainkan bisa berjalan beriringan.
Hal serupa terjadi di kawasan hutan hujan Amazon di Brazil, dikenal sebagai paru-paru dunia. Sebagian kawasan Amazon sebelumnya mengalami tekanan deforestasi parah mulai dikelola bersama antara komunitas adat dan otoritas negara dalam kerangka hukum pengakuan wilayah adat dan skema konservasi partisipatif. Komunitas lokal diberi peran perlindungan kawasan, dan tetap bisa hidup dari hasil hutan non kayu seperti buah-buahan, biji-bijian, tanaman obat, hingga madu liar. Ini membuktikan bahwa konservasi tidak berarti pengusiran. Hutan Amazon bukan dikosongkan, tetapi ditata dengan fungsi ekologisnya tetap berjalan dan fungsi sosialnya terjaga.
Menjaga Tesso Nilo berarti menjaga dua nafas kehidupan sekaligus, nafas hayati yang tua dan nafas manusia yang rapuh. Keduanya harus dipelihara bersama, tanpa saling meniadakan satu sama lain. Karena hutan yang lestari dan manusia yang sejahtera bukan dua tujuan yang bertentangan, melainkan dua pilar dari keadilan yang sesungguhnya.(***)