Akankah Taman Nasional Tesso Nilo, Tinggal Kenangan?

  • Senin, 23 Agustus 2021 - 12:11 WIB


Oleh: Kornel Panggabean

 

MENOREH  pengalaman unik di awal Agustus tahun ini. Unik maksudnya: menarik sekaligus memprihatinkan. 


Bagian menariknya, aku menjadi salah seorang dari 45 orang wartawan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau yang melakukan ekspedisi ke dua kawasan hutan lindung: Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). 


Ekspedisi sekitar 60 jam (tanggal 6 – 8 Agustus 2021) ini merupakan apresiasi riil bersempena Hari Ulang Tahun ke-64 Provinsi Riau sekaligus anniversary  Hari Konservasi Alam Nasional ke-21. 

Syukurlah! Meski wabah pandemi virus corona masih menyasar segala penjuru negeri, berikut segala dampak dan akibatnya, misi mulia yang diemban ekspedisi PWI Riau hebat ini tetap terlaksana. 

Untuk itu, kami Tim Ekspedisi mengucapkan terima kasih kepada Zulmansyah Sekedang selaku Ketua PWI Riau yang ‘menangkap’ momen hari bersejarah ini sebagai wahana berburu informasi wartawan ke alam terbuka. Tentu saja, ini suatu liputan jurnalistik yang sangat menarik. Lantas, ekspedisi ini, akan menjadi catatan khusus dalam sejarah profesi wartawan di tanah air.


Ketua PWI Riau, Zulmansyah Sekedang menyampaikan kata sambutan di TNTN, Minggu (8/8/2021)

 

Namun, di celah aktivitas ekspedisi mengasyikkan itu aku mencatat sebuah realita yang sangat menyedihkan sekaligus memprihatinkan. Ternyata, kedua kawasan itu, sudah sejak lama terancam “pandemi” yang sangat berbahaya. 

Bahaya “virus pandemi” berupa kekerasan lingkungan (ecolgical violent) yang bisa jadi akan mengantar kedua taman nasional ini ke ambang kepunahan. (Karena keterbatasan, tulisan ini  fokus pada masalah di TNTN).

Bayangkan, TNTN yang terletak di Kabupaten Pelalawan ini, kondisi wilayahnya terus tergerus. Kini hanya tersisa 17 persen dari luas awal penetapannya sebagai Taman Nasional, 17 tahun silam. Begitu ganasnya “virus Pandemi” Mafia Lahan yang dengan buasnya merampok sebagian besar kawasan TNTN. Ini dahsyat. Ini memprihatinkan!

Bisa jadi, keprihatinan dan kelelahan selama ekspedisi telah membuat kondisi fisikku down. Usai ekspedisi, berdasarkan hasil tes aku dinyatakan positif terjangkit Covid -19. Padahal, semua persyaratan prokes sudah dipenuhi sebelum berangkat dan selama menjalankan ekspedisi. 

Manusia, memang tidak bisa melawan takdir. Aku harus menjalani isolasi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Madani, Kota Pekanbaru.

Di kamar isolasi rumah sakit inilah, aku kembali merenungi keprihatinan kondisi hutan TNTN seraya menulis laporan ini. Aku jelaskan lagi, Kawasan TNTN, merupakan objek liputan kedua usai melakukan ekspedisi ke TNBT. Hanya 14 orang anggota Tim Ekspedisi yang ikut ekspedisi ke TNTN. Aku merasa bangga menjadi salah seorang dari 14 orang wartawan itu.

Masih lekat di ingatanku saat kami memasuki  kawasan TNTN di Desa Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan kawasan TNTN, malam sekitar pukul 19.20 WIB (7/8) silam. Dengan mobil Toyota Hiace, kami disambut suasana adem. 

Kami nyaris tidak mendengar suara hewan, malam itu. Kondisi jalan poros memasuki areal TNTN dan perkampungan yang ramai terkesan bahwa kawasan ini begitu terbuka. Perkebunan karet rakyat dan rerimbunan kelapa sawit yang masih berusia muda mendampingi kawasan TNTN.

Jika dibandingkan dengan usia TNTN yang sudah memasuki angka 17 tahun (TNTN diresmikan berdirinya tanggal 19 Juli 2004), aneh rasanya melihat hadirnya perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit yang berusia di bawah 10 tahun. 

Demikian juga hadirnya perkampungan penduduk di sekitar TNTN. Maksudnya, apakah semua areal perkebunan dan pemukiman yang terus mengalami eskalasi itu bukan justru berasal dari hasil perambahan kawasan TNTN?

Penjelasan Kepala Balai TNTN, Heru Sumantoro, S.Hut, saat diresmikan berdirinya tahun 2004 total luas areal TNTN dulunya sudah mencapai 38.576 hektare.

"Dulunya memang mencapai 83 ribu hektare, tapi, itu termasuk bekas Kawasan beberapa Hak Penguasaan Hutan (HPH). TNTN merupakan hutan alami yang asri, menjadi habitat puluhan jenis spesies hewan," sebutnya. 

Dijelaskannya, di TNTN masih terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia di setiap hektare Taman Nasional Tesso Nilo. 

Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) merupakan kawasan pelestarian alam yang ditunjuk dengan tujuan melindungi ekosistem esensial dataran rendah beserta segala keanekaragaman hayati di dalamnya. Salah satunya adalah gajah sumatera (elephas maximus) yang merupakan satwa utama sekaligus ikon pelestarian alam Kawasan Hutan Tesso Nilo.

Seekor gajah jantan saat ditarik pelatih untuk dimandikan.

 

Penunjukan kawasan TN Tesso Nilo, kata Heru berdasarkan SK Menhut No. 255/Menhut-II/2004 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan produksi terbatas di kelompok hutan Tesso Nilo yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, Provinsi Riau seluas 38.576 hektar menjadi Taman Nasional Tesso Nilo. 

 “Sayangnya, kondisi TNTN terus menoreh keprihatinan. Bayangkan saat ini, luas areal TNTN hanya tinggal 14 ribu hektare dari 83 ribu. Ini ancaman yang sangat serius. Dan, ini suatu keperihatinan bagi kita semua,” ujar Heru. 

Kepala Balai TNTN, Heru Sumantoro, S.Hut  menjelaskan terkait TNTN di hadapan tim ekspedisi PWI. 

 

Jika dianalisis secara saksama ganasnya para pemangsa lahan di kawasan TNTN bisa jadi, kawasan TNTN bakal tinggal kenangan. Simak saja, data yang diungkapkan Heru. Itu artinya, sekitar 69 ribu hektare kawasan TNTN sudah lenyap selama 17 tahun. Dengan kata lain, rata-rata mafia lahan ini, menggerus lahan TNTN sekitar 4500 hektare setiap tahunnya. Mengerikan sekali. Dengan tingkat kebuasan memangsa lahan 4500 hektare per tahunnya, berarti hanya perlu waktu sekitar 30 bulan bagi “mafia Lahan”  untuk mengubur TNTN dari peta hutan Indonesia. 

“Tanpa pengawasan ekstra ketat, dalam waktu dekat, TNTN akan tinggal kenangan,” ujar Dr Elvis, MSi, ahli konservasi hutan dari Universitas Islam Riau.

Doktor lulusan Universitas Padjadjaran itu menyebut tindakan illegal logging hutan Riau dalam 2 dasa warsa belakangan telah turut merobek dan menggerus sebagian besar kawasan hutan lindung, termasuk hutan di kawasan TNTN.

“Bayangkan, dari sekitar 9 juta hektare hutan Riau di tahun 1985 hanya bersisa sekitar 800 ribu hektare. Itupun sebagian besar terdiri dari kawasan hutan lindung. Jutaan hektare hutan Riau, kini beralih fungsi hamparan kebun kelapa sawit,” katanya. 

 

Berburu Emas Hijau

Kekhawatiran yang diungkapkan Elvis, ternyata relevan dengan fakta empiris di lapangan. Seorang tetua Desa Lubuk Kembang Bunga (tidak bersedia namanya ditulis)  mendeskripsikan aktivitas penyerobotan hutan kawasan TNTN berikut tindakan pembalakan liar hingga mengubah lahan bekas tebangan itu menjadi hamparan kebun kelapa sawit (elaeis).

“Kuncinya ada pada pihak Pemerintah Desa yang mengeluarkan legalitas lahan hasil penyerobotan dari kawasan TNTN itu. Itu artinya, pihak desa ‘kan ikut terlibat dalam jaringan mafia lahan di TNTN ini,” katanya.

Menurut Eko, warga Desa Lubuk Kembang Bunga, banyak desa yang menjadi “pintu masuk” penjarahan lahan untuk membangun kebun kelapa sawit di TNTN. "Kalau tidak salah ada 22 desa berdekatan dengan TNTN," katanya. 

“Penyerobotan lahan makin menggila, sejak PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) membuka jalan koridor yang membelah kawasan TNTN. Jalan koridor ini memudahkan penjarahan lahan di kawasan TNTN,” kata Bahri warga Kembang Bunga.

Kronologinya kata Eko, melalui proses bertahap. Tahap awal, lahan-lahan bekas pembalakan liar “dibuka” kembali oleh para pendatang. 

“Umumnya, pendatang ini dari daerah Sumatera Utara dan Pekanbaru,” kata Eko. 

Seterusnya, para perintis lahan ini, sekaligus membangun pemukiman di sana. Kemudian, mereka tidak sebatas menguasai lahan untuk perladangan dan perkebunan pribadi. 

“Lebih dari itu, mereka kemudian menguasai lahan dan mengurus suratnya ke desa. Dengan mengantongi legalitas dari desa, lahan-lahan yang mereka serobot itu, kemudian mereka jual kepada pihak yang ingin membuka kebun sawit. Bahkan ada lahan mereka yang sudah memiliki sertifikat,” tutur Eko.

Berdasarkan informasi yang dihimpun di sekitar kawasan TNTN, aktivitas “mafia lahan” ini sudah membentuk sindikasi yang rapi. Mulai dari perambah, pemerintahan di tingkat RT dan RW hingga desa sampai ke kecamatan, tampaknya ikut bermain.

Begitulah. Aktivitas penjarahan lahan TNTN terus berlangsung dalam 17 tahun belakangan. Bukti nyata dari aktivitas itu, tumbuhnya pemukiman baru yang kemudian membentuk pedesaan di kawasan TNTN. Bukti paling dahsyat ya itu tadi:  kebun kelapa sawit yang menghampar puluhan ribu hektare di kawasan TNTN. Sehingga dari 83 ribu hektare luas TNTN saat ini hanya tersisa 14 ribu hektare. Sementara, belum ada tanda-tanda kegiatan penjarahan lahan di kawasan TNTN akan berhenti.

“Aktivitas perambahan lahan TNTN,  bisa jadi semakin lepas kendali di tengah harga jual produk sawit berupa minyak sawit (palm oil)  yang makin melangit di pasar internasional. Tentu saja, animo masyarakat untuk berkebun sawit terus meningkat,” kata Dr Elvis.

Lantas, apa kira-kira solusi yang masih bisa ditempuh? Setidaknya, untuk menahan laju keberingasan para sindikat “mafia lahan” ini? Akankah dibiarkan Taman Nasional Tesso Nilo ini tinggal kenangan?

Berharap pada pengelola TNTN? 

“Kalau kami hanya mampu sebatas menghimbau. Sebagai pengelola TNTN tidak henti-hentinya menghimbau dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak lagi melakukan aktivitas di kawasan TNTN,” kata Heru kepada Tim Ekspedisi. 

Tim ekspedisi PWI Riau saat mengambil momen lucu sang gajah berusia 5 tahun di TNTN.

 

Harapan Terakhir

Syukurlah. Di tengah peliknya peripersoalan hutan di Riau, masih terbetik seberkas harapan. Ini mungkin harapan terakhir. Belum lama ini, Gubernur Riau, Drs H Syamsuar, MSi. menyebut telah membentuk Tim Pendata Hutan Riau. 

Dijelaskan, Tim ini akan mengawali kerjanya dalam upaya penyelamatan hutan Riau dengan melakukan pendataan ulang terhadap sekitar 1,3 juta hektare kebun sawit saat ini yang berada di kawasan hutan Riau. Tentu saja, termasuk dalam kawasan hutan lindung seperti TNTN.  

“Kita berharap tim yang diketuai Bapak Wakil Gubernur Riau ini, bisa bekerja efektif demi penyelamatan hutan Riau, utamanya hutan lindung sebagai penyangga alam,” kata Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Datuk H Syahril Abu Bakar, dalam berbagai kesempatan.

Seperti gayung bersambut, kehadiran Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberi angin segar bagi “Tim Penyelamat Hutan Riau” ini. Ternyata, undang-undang ini, berikut turunannya, telah mengatur secara seksama tentang solusi bagi kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan.

Undang-Undang Cipta Kerja, memang menghapuskan ancaman kriminalisasi bagi pekebun atau petani yang terlanjur memasuki  wilayah hutan. Tetapi, kosekuensinya diatur secara jelas. Membayar denda atau mengembalikan ke negara. 

“Namun bagi yang kebunnya memasuki wilayah hutan lindung. Tidak ada cerita: Harus dikembalikan,” tegas Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Dr (cn) Ir Gulat Medali Emas Manurung, MP.

Sepotong harapan yang terdengar muluk, khususnya  bagi penyelamatan kawasan TNTN. Pertanyannya: Apakah Tim yang dibentuk Gubernur Riau itu siap bekerja maksimal?

Kita tunggu...!



Baca Juga