Dugaan Suap Pengurusan DAK

Direktur PT MMS dan MRP Diperiksa KPK

  • Rabu, 24 Februari 2021 - 19:27 WIB


KLIKMX.COM, PEKANBARU --Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan pemeriksaan saksi di kantor Polda Riau, yang berada di Jalan Pattimura, Rabu (24/2/2021). Pemeriksaan Saksi tersebut terkait dengan proses penyidikan dugaan suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam APBNP 2017 dan APBN 2018.

Yang mana, dalam dugaan rasuah itu, tersangkanya adalah Zulkifli AS. Walikota Dumai non aktif itu kini mendekam di Rutan Polres Metro Jakarta Timur. Lembaga Antirasuah melakukan penahanan terhadap Zulkifli sejak Selasa (17/11) tahun lalu dan penahanannya telah diperpanjang hingga saat ini.


"Hari ini yang diperiksa di Polda Riau ada 10 orang saksi," ucap Plt Juru Bicara (Jubir) KPK, Ali Fikri SH MH.


Adapun ke-10 orang saksi itu berasal dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pihak swasta. Mereka adalah Riski Kurniawan Tri Saputra, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) II, Fachruddimas Junsyaputera dan Ridho Satria, yang merupakan PNS. Kemudian saksi dari kalangan wiraswasta dan swasta yakni, Dedi Sakti, Dedi Chandra, Dedi Nofia, Jailani dan Yulinas

"Kemudian ada juga saksi Renny Anggraeni selaku Direktur PT Mitra Mulia Sentosa (MMS) dan Syafrizal selaku Direktur Media Riau Pesisir (MRP)," terang Ali.

Sejak Zulkifli AS ditahan, KPK telah memanggil banyak saksi. Diantaranya dari Pemko Dumai, anggota DPRD dan swasta, termasuk Walikota Dumai terpilih, Paisal.


Perkara yang menjerat Zulkifli AS ini merupakan pengembangan dari perkara dugaan suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah dalam RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018.

Zulkilfli AS dijerat dua perkara. Pertama, diduga memberi uang suap Rp550 juta kepada Yaya Purnomo dan kawan-kawan terkait dengan pengurusan anggaran DAK APBN-P Tahun 2017 dan APBN Tahun 2018 Kota Dumai. Yaya Purnomo merupakan mantan Kepala Seksi (Kasi)  Pengembangan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Dirjen Pengembangan Pemukiman Kementerian Keuangan.

Untuk perkara kedua, Zulkifli AS diduga menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta dari pihak pengusaha yang mengerjakan proyek di Kota  Dumai. Penerimaan gratifikasi diduga terjadi dalam rentang waktu November 2017 dan Januari 2018.

Disebutkan, pada Maret 2017, Zulkifli AS  bertemu dengan Yaya Purnomo di salah satu hotel di Jakarta. Dalam pertemuan itu, ia meminta bantuan untuk mengawal proses pengusulan DAK Pemko Dumai dan  pada pertemuan lain disanggupi oleh Yaya Purnomo dengan fee 2 persen.

Kemudian pada Mei 2017, Pemko Dumai mengajukan pengurusan DAK kurang bayar Tahun Anggaran 2016 sebesar Rp22 miliar.  

Dalam APBN Perubahan Tahun 2017, Kota Dumai mendapat tambahan anggaran sebesar Rp22,3 miliar. Tambahan ini disebut  sebagai penyelesaian DAK Fisik 2016 yang dianggarkan untuk kegiatan bidang pendidikan dan infrastruktur jalan. 

Di bulan yang sama, Pemko  Dumai mengajukan  usulan DAK untuk Tahun Anggaran 2018 kepada Kementerian Keuangan. Beberapa bidang yang diajukan antara lain RS rujukan,  jalan, perumahan dan permukiman, air minum, sanitasi, dan  pendidikan. 

Zulkifli AS kembali bertemu  Yaya Purnomo membahas pengajuan DAK Kota Dumai  yang kemudian disanggupi untuk mengurus pengajuan DAK TA 2018 Kota Dumai, yaitu untuk  pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah dengan alokasi Rp20 miliar, dan pembangunan jalan sebesar Rp19 miliar. 

Untuk memenuhi fee terkait dengan bantuan pengamanan usulan  DAK Kota Dumai kepada Yaya Purnomo, Zulkifli AS memerintahkan untuk mengumpulkan uang dari pihak swasta yang menjadi rekanan proyek di Pemerintah Kota Dumai. 

Penyerahan uang setara dengan Rp550 juta dalam bentuk Dollar  Amerika, Dollar Singapura dan Rupiah pada Yaya Purnomo dan kawan-kawan dilakukan pada bulan November 2017 dan Januari 2018. 

Atas perkara pertama, Zulkifli AS dijerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perkara kedua dijerat Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001. ***



Baca Juga